Problematika Usia

 


Kami duduk bersebelahan di kereta dalam perjalanan pulang sehabis bertamasya ke Kebun Raya Bogor. Duduk dalam diam karena kelelahan sehabis menikmati wisata tumbuh-tumbuhan, memang sebuah tempat yang agak tidak umum untuk berkencan.

 

“Bu.”

“Iya?”

“Bu Sofi.”

“Iyaaaaa gue denger.”

“Kita menikah yuk, Bu.”

“Haaaaaaah?”

“Ssssttt, apaan si berisik banget. Liat tuh orang-orang jadi pada ngeliatin kita.”

“Ya habisnya lo ngomong sekenanya aja, kaga pake mikir dulu.”

“Justru udah dipikirin dari lama ini mah.”

“Mikir apanya? Kalo lu emang beneran mikir seharusnya kata-kata itu ga keluar dari mulut lo, karna lo pasti tau konsekuensinya gimana.”

 

Sesaat lagi, kereta anda akan memasuki stasiun Pondok Cina.

 

“Udah ah, udah waktunya gue turun.”

“Yaudah, hati-hati ya, Bu.”

“Iya, lo juga ya. Kalo udah sampe rumah jangan lupa kabarin.”

“Oke siappp.”

 

Apa itu barusan?

Tak terpikir bahwa dia akan berkata seperti itu. Sebuah pernyataan yang cukup untuk membuatku terjaga di malam harinya. Hingga keesokan harinya aku harus berangkat ke kantor dengan kantung mata yang tidak bisa dikondisikan.

 

“Pagi Bu Sofi.”

“Iya, pagi.”

“Makasih ya Bu untuk kemarin. Pasti masih cape ya Bu, sampe-sampe itu mata udah kaya perut kangguru, ada kantungnya.”

“Iya sama-sama. Yaudah kerja sana, jangan lupa deadline yang kemarin ya.”

“Siap, Ibu Vice Head.”

“Apaan si.”

“Hehehe.”

 

Bukan, bukan karena kelelahan, tapi karena ucapanmu kemarin yang membuatku tak bisa tidur.

Usia memang sering menjadi penghalang dalam beberapa hal, termasuk dalam hal percintaan. Aku tidak bisa begitu saja menerima cintanya, mengingat usia kami yang berbeda 9 tahun. Ada banyak hal yang harus dipikirkan, jadi tidak semudah itu memberikan jawaban.

Seminggu berlalu semenjak pertanyaan itu, dan tidak seharipun dia tidak menanyakan jawabanku. Hingga akhirnya aku memberikan jawaban.

 

“Engga.”

“Engga apa?”

“Itu jawaban untuk pertanyaan lo minggu lalu.”

“Alasannya?”

“Pokoknya kita ga bisa menikah, terlalu banyak resikonya, terlalu banyak juga konsekuensinya.”

“Dan resiko yang terlalu banyak itu lebih tepatnya adalah?”

“Ya, pokonya banyak resikonya. Yaudahlah terima aja, lagian lo kenapa ga cari yang seumuran aja sih.”

“Owh, jadi ini karna usia?”

 

Oops, aku salah berucap, memang itu alasan yang sengaja aku sembunyikan.

 

“Yaa, pokonya bukan itu aja. Yaudahlah ga usah dibahas lagi ya, gue pulang dulu.”

 

Begitu saja, aku pergi berlalu meninggalkannya dengan perasaan tidak puas.

Hari-hari selanjutnya berlalu tanpa kami saling bertegur sapa, membuatku berasumsi bahwa dia memang marah atas jawabanku.

Tapi dia memang tidak pernah kehabisan cara, hari berikutnya ia kembali mengajakku berbicara empat mata.

 

“Bu Sofi, pokonya hari ini kita diskusi untuk menindaklanjuti penolakan yang Bu Sofi lakuin kemarin.”

“Hmmm, yaaa terserah lo deh.”

“Iyalah terserah saya, karena disini saya yang paling dirugikan, oleh karena itu saya akan mengambil hak saya yaitu jawaban sesungguhnya yang Bu Sofi rasain.”

 

Apasih nih anak, ada saja tingkahnya yang membuatku tersenyum.

 

“Iya iya gue dengerin, ayo lu mau ngomong apa sini gue dengerin.”

“Bu Sofi, saya udah mengkaji dan melakukan riset atas jawaban Bu Sofi kemarin, yang pura-pura nolak.”

“Permasalahan umur memang cukup tricky dalam beberapa hal, termasuk dalam hal percintaan. Ada beberapa masalah yang bisa timbul akibat perbedaan usia pasangan yang terlalu jauh, tapi itu semua bukan berarti ga bisa diatasi, setiap permasalahan pasti ada solusinya kan? Lagian perbedaan usia kita juga ga teralu jauh kok, cuma sembilan tahun”. lanjutnya.

 

Aku hanya terdiam mendengarkan penjelasannya.

 

“Menurut Irene Raflesia, M. Psi. yang merupakan seorang psikolog dari Klinik Pelangi, hubungan serius seperti pernikahan umumnya dilandasi oleh rasa cinta dan rasa nyaman. ‘Kita tidak dapat mengendalikan kepada siapa kita akan jatuh cinta, termasuk bila kita jatuh cinta pada pasangan yang memiliki rentang usia yang terpaut jauh. Sah-sah saja jika menikahi perempuan yang usianya jauh lebih tua walau mungkin stigma masyarakat kita masih memandang hal ini sebagai suatu yang unik,’. Dari penjelasan ini bisa disimpulkan bahwa salah satu masalah pasangan yang beda umur adalah stigma masyarakat, tapi menurut saya apapun yang kita lakuin pasti ada aja komentar negatif dari lingkungan sekitar, jangankan kita ngelakuin kesalahan, kita berprestasi aja pasti ada yang nyinyir Bu, jadi menurut saya kita ga usah lah terlalu mikirin stigma masyarakat, kan yang ngejalanin hidup kita ya kita sendiri.”

“Iya gue tau, tapi bukan cuma itu aja. Fakta bahwa kita satu kantor kan ga bisa dipungkiri.”

“Iya kalo itu masalahnya dan harus ada salah satu yang dikorbankan saya rela kok kalau saya harus resign dan cari tempat kerja baru. Atau kalo emang Bu Sofi yang mau resign dan kerja di tempat lain juga gapapa, atau kalo mau resign dan ga kerja lagi juga gapapa, pokonya apa aja gapapa deh.”

Aku hanya terdiam, tidak menemukan celah untuk membantah. Namun entah kenapa ada perasaan aneh yang muncul di hati, sesaat muncul ketentraman ketika mendengar penjelasan yang ia utarakan.

Seperti halnya lidah yang tidak bisa dibohongi oleh rasa masakan, hati pun juga tidak bisa dibohongi soal perasaan. Kedekatan kami selama enam bulan terakhir mambuatku merasakan hal yang sama dengannya, namun sekali lagi problematika usia masih membayangiku untuk meneruskan hubungan ke jenjang yang lebih serius. Lalu dengan keputusannya yang “nekat” dan juga keteguhannya untuk itu membuatku jadi bersyukur, dan menghiraukan semua prasangka negatif yang belum tentu terjadi.

*****

“Gimana perasaannya hari ini?” tanya ibuku.

“Hehehe, ga tau Bu. Aku belum pernah ngerasain ini sebelumnya, seperti ada yang menggelitik di hati aku, tapi yang kutahu perasaan ini bukan sesatu yang negatif.” Jawabku.

“Dulu sebelum Ijab Kabul, Ibu juga ngerasain hal yang sama, seperti ada perasaan yang ga tau apa, yang jelas Ibu pengen prosesi itu cepet-cepet selesai, biar Ibu tahu bahwa Ibu udah bener-bener jadi milik Ayah kamu, dan begitu juga sebaliknya.”

“Makasih ya Bu, udah ngijinin aku menikah dengan pria pilihan aku sendiri, meskipun aku tahu pernikahan ini agak tidak biasa bagi sebagian orang.”

“Ini hidup kamu, kamu yang akan ngejalaninnya, terus terpaku sama omongan orang juga bukan hal yang baik, selama kamu percaya sama pilihan hati kamu, Insya Allah semua aka baik-baik saja.”

“Iya, Bu.” jawabku seraya memberikan pelukan.

 

 

Note : Artikel tentang pernikahan beda usia mengambil sumber dari :

https://www.suara.com/lifestyle/2018/09/07/080000/nikah-beda-usia-yang-terlalu-jauh-di-mata-psikolog?page=all

Posting Komentar

0 Komentar